Beranda | Artikel
Menjawab Kerancuan VCD Pelecehan Islam (Seri 1)
Kamis, 18 Februari 2010

Kaum muslimin yang semoga dirahmati oleh Allah. Baru-baru ini muncul kembali sebuah VCD yang meresahkan kaum muslimin di daerah Sumenep-Jawa Timur. Namun sebenarnya VCD ini sudah tersebar sejak tahun 2007. Kami sendiri pun sudah menyaksikan VCD tersebut dan telah membuat sanggahan dari kerancuan yang dimunculkan. Sanggahan tersebut kami susun bersama saudara kami Al Fadhil Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi dan sudah dipublish di www.muslim.or.id pada bulan Syawal 1428 H. Berikut kami sampaikan kembali artikel tersebut dan kami bagi menjadi tiga seri.

Silakan lihat link berita tersebut di sini.

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad nabi dan rasul terakhir yang diutus Rabb alam semesta dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, supaya beliau menjadi rahmat bagi seluruh alam. Amma ba’du.

Kaum muslimin, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Di tengah masyarakat kita belakangan ini muncul sebuah VCD yang meresahkan. Di dalam VCD ini ditampilkan ceramah seorang murtad (sebagaimana tampak dari pengakuannya sendiri, entah itu jujur atau tidak) yang bernama Mohamad Ali Makrus Attamimi [jika benar dia berasal dari kabilah Tamim maka pengakuannya sebagai keturunan Nabi jelas sebuah kedustaan. Kabilah Tamim bukanlah kabilah Nabi, ed].

Seorang penyair mengatakan,

كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً لِلَيْلَى

وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا

Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila

Namun Laila tidak mengakui ucapan mereka

Disebutkan bahwa dia adalah mantan aktifis FPI, seorang keturunan habib (masih ada silsilah keturunan dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan juga pernah menjadi anggota Tim Pemburu Hantu Reality Show TV (Lativi) bahkan lebih parah lagi orang ini menyatakan sendiri bahwa dia pernah menjabat sebagai ‘penasehat paguyuban paranormal’ berarti sangat menggandrungi dunia perdukunan dan kesyrikan. Dan yang paling menyedihkan adalah disebutkan bahwa ‘dia menemukan kebenaran’ (artinya meninggalkan Islam dan memeluk agama Nashrani[1], wal ‘iyadzu billah!), padahal pada hakikatnya dia telah terseret dalam arus kesesatan yang nyata. Semoga Allah menyelamatkan kita dari tipu daya syaitan dan bala tentaranya. Karena kita yakin bahwa sesungguhnya tipu daya syaitan itu sangat lemah. Dengan bekal ilmu, kesabaran dan ketakwaan maka tipu daya mereka tidak akan bisa membahayakan kita barang sedikitpun.

Sebelum lebih jauh berbicara tentang kasus ini maka perlu kami ingatkan di sini bahwa berita-berita yang bertebaran di sekitar kita perlu diteliti dari mana datangnya. Apalagi jika berita ini datang dari orang kafir, maka berita mereka tidak layak untuk dipercaya, apalagi yang terkait dengan masalah agama. Karena Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat [49] : 6)

Syaikh As Sa’di dalam Taisir Karimir Rahman mengatakan,”Apabila seorang fasik (yang sering melakukan dosa besar sebagaimana ditafsirkan dalam Aysarut Tafasir, pen) menceritakan suatu berita, hendaklah diteliti terlebih dahulu dan tidak menelan mentah-mentah berita tersebut begitu saja karena hal ini dapat menimbulkan bahaya yang besar dan terjatuh dalam dosa. Jika berita dari orang fasik ini diterima seperti berita dari orang yang jujur dan adil maka akan timbul kerusakan jiwa dan harta tanpa alasan yang benar.” Oleh karena itu, setiap berita dari orang yang fasik hendaklah diteliti terlebih dahulu kebenarannya, jangan diterima terlebih dahulu apalagi berita dari orang kafir (Nashrani) yang lebih jelek dari orang yang melakukan dosa besar dan masih muslim. Perhatikanlah hal ini!

Kami sendiri pernah mengalami, pada suatu saat ada seorang tamu mengaku bernama Imron yang diundang oleh jama’ah pengajian di suatu masjid di Jogjakarta untuk menceritakan kisah masuk Islamnya. Orang ini mengaku sebagai muallaf yang sebelumnya telah menempuh pendidikan kependetaan di Sulawesi kemudian setelah dia menemukan Islam sebagai ajaran yang benar maka dia pun masuk Islam dan melarikan diri ke Jogjakarta, bahkan kemudian dia ditampung di sebuah pondok pesantren. Setelah berlalu beberapa waktu lamanya ternyata terbukti bahwa orang tersebut adalah orang Nashrani yang sengaja mengelabui kaum muslimin dan sedang mengadakan penelitian untuk kepentingan mereka.

Copyan VCD tersebut kami dapatkan dari seorang teman yang melaporkan bahwa video ini terbukti disebarkan dengan cara ‘ditanam’ di komputer-komputer yang ada di sebagian warnet. Di dalam VCD tersebut banyak terdapat kerancuan dan kekacauan pemahaman yang dilontarkan oleh orang yang mengaku keturunan habib ini. Dan di dalamnya terdapat pula pelecehan terhadap ajaran Islam. Mudah-mudahan melalui tulisan ini berdasarkan ilmu yang kami ketahui, Allah memudahkan kami untuk menjelaskan berbagai kerancuan pemikiran dan pelecehan yang dilakukan oleh orang yang mengaku sebagai habib ini. “Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal” (QS. Ali Imran [3] : 122)

Kerancuan Pertama

Dia menyatakan bahwa kata ‘muslim’ di dalam Al Qur’an (seperti dalam ayat wa laa tamuutunna illa wa antum muslimuun) itu lebih luas maknanya daripada sekedar orang yang beragama Islam. Menurutnya, muslim adalah karakter/sifat yang melekat pada setiap orang yang taat dan tunduk kepada perintah firman Tuhan, sedangkan Islam identik dengan agama. Sehingga firman Allah (yang artinya),”Janganlah kalian mati kecuali sebagai muslim.” tidak bisa dimaknai ‘janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam’. Dengan kata lain, dia ingin mengatakan bahwa yang bisa selamat bukan hanya pemeluk agama Islam. Oleh sebab itu dia menyebut penafsiran para ulama kita terhadap kata ‘muslim’ dalam Al Qur’an sebagai ‘orang yang beragama Islam’ adalah kekeliruan (salah kaprah) yang dibudayakan.

Bantahan :

Sesungguhnya perkataan orang ini tidak ada bedanya dengan perkataan orang-orang Liberal yang menafsirkan ‘muslim’ sebagai setiap orang yang pasrah kepada Dzat Yang Maha Benar yaitu Allah Ta’ala. Sehingga siapa pun orangnya –menurut mereka- asalkan dia pasrah kepada Allah maka dia adalah seorang muslim dan mendapatkan jaminan surga. Kalau kita mau secara ringkas membantahnya, maka dapat kita katakan bahwa sebenarnya perkataan semacam ini hanya muncul dari orang yang tidak faham kandungan Al Qur’an. Nah, apakah perkataan orang yang tidak paham isi Al Qur’an bisa dijadikan pegangan ?

Untuk lebih membuktikan kekeliruan fatal ini maka akan kami sebutkan beberapa ayat Al Qur’an beserta tafsiran para ahli tafsir yang bertolak belakang dengan penafsiran di atas.

Pertama; Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Ibrahim bukanlah seorang Yahudi ataupun Nasrani akan tetapi dia adalah seorang hanif dan muslim serta bukan termasuk golongan kaum musyrikin.” (QS. Ali-‘Imran [3] : 67)

Ibnu Jarir Ath-Thabari mengatakan,”Ini merupakan pendustaan dari Allah ‘azza wa jalla terhadap klaim orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mendebat ajaran Nabi Ibrahim dan millahnya. Mereka mengklaim bahwa Nabi Ibrahim menganut agama yang mereka anut. Ayat ini juga menjadi penegasan sikap berlepas diri Ibrahim dari perbuatan mereka itu. Allah menegaskan bahwa sesungguhnya merekalah (Yahudi dan Nasrani) yang menyelisihi agama yang beliau bawa. Ini pun menjadi kata putus dari Allah ‘azza wa jalla bagi seluruh pemeluk Islam dan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menetapkan bahwa mereka itulah sebenarnya yang menganut ajaran agama Ibrahim dan berjalan di atas jalan dan syariat yang beliau gariskan dan bukannya para pemeluk agama-agama selain agama yang mereka peluk/Islam” (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Maktabah Syamilah)

Dari penafsiran di atas jelas bagi kita bahwa makna Islam yang dikehendaki oleh Al Qur’an yaitu mengikuti ajaran Nabi Ibrahim yang lurus yaitu menyembah Allah semata dan tidak berbuat syirik. Dan inilah ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para nabi yang lainnya. Dan itu berarti muslim adalah yang tidak menganut agama Yahudi maupun Nasrani namun mengikuti nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sudah Allah tegaskan pada ayat di atas dan diperjelas oleh ayat-ayat lainnya berikut ini.

Kedua; Allah jalla wa ‘ala berfirman,

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengikuti millah Ibrahim dengan hanif...” (QS. An-Nahl [16] : 123)

Imam ahli tafsir Ibnu Jari Ath-Thabari menafsirkan kata-kata ‘dengan hanif’ dalam ayat tersebut (QS. An-Nahl : 123) adalah dengan “istiqamah di atas agama Islam”. Ibnu Katsir berkata bahwa makna kata hanif ialah almunharif qashdan ‘anisysyirki ilat tauhid : sengaja menjauhi dan meninggalkan syirik menuju tauhid. Al-Baghawi mengatakan bahwa makna hanif adalah,”muslim yang lurus berada di atas agama Islam.” Al-Alusi mengatakan bahwa makna hanif adalah,”Berpaling dari semua agama yang batil menuju agama yang haq dan tidak bergeser darinya.” Tafsiran serupa disampaikan oleh Asy-Syaukani  dalam Fathul Qadir. Syaikh As-Sa’di mengatakan bahwa makna haniif adalah muqbilan ‘alallah bil mahabbah wal inaabah wal ‘ubuudiyah mu’ridhan ‘an man siwaahu : menghadapkan jiwa raga kepada Allah dengan rasa cinta, taubat dan penghambaan serta berpaling dari segala sesembahan selain-Nya. Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaa’iri mengatakan tentang makna hanif adalah condong kepada agama yang lurus yaitu Islam (Lihat Maktabah Syamilah)

Ketiga; Allah ‘azza wa jalla berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ

Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam….” (QS. Ali-‘Imraan [3] : 19)

Al-Baghawi mengatakan tentang makna ayat ini yaitu agama yang diridhai dan benar (hanya Islam). Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna Islam di dalam ayat ini adalah mengikuti ajaran rasul Allah yang diutus kepada mereka di setiap masa sampai ditutupnya risalah dengan diutusnya Muhammad shallallahu a’alaihi wa sallam yang menutup semua jalan menuju Allah kecuali satu jalan yang dibentangkan oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu orang-orang sesudah diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghadap Allah dalam keadaan menganut agama selain syari’at beliau maka tidak akan diterima. Ath-Thabari membawakan riwayat dari Qatadah yang menafsirkan ayat ini : Yang dimaksud Islam di sini adalah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah serta mengakui ajaran dari sisi Allah yang dibawa olehnya (Rasulullah). Itulah agama Allah yang disyari’atkan untuk diri-Nya. Dan dengan agama itulah Allah mengutus para rasul-Nya. Dan itu pulalah agama yang ditunjukkan oleh para wali-Nya (kepada umat manusia). Allah tidak menerima selain agama itu dan tidak akan memberikan balasan pahala kecuali dengannya. (Maktabah Syamilah)

Keempat; Allah juga berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia akan termasuk golongan yang menderita kerugian.” (QS. Ali-‘Imraan [3] : 85)

Imam Ath-Thabari menjelaskan bahwa barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima oleh Allah. Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa barangsiapa yang menempuh jalan selain yang disyari’atkan Allah maka tidak akan menerimanya. Imam Al-Baghawi menjelaskan bahwa ayat ini turun pada  kisah 12 orang yang murtad dari Islam dan keluar meninggalkan Madinah dan mendatangi Mekkah dalam keadaan sebagai orang kafir, diantara mereka ada Al-Harits bin Suwaid Al-Anshari. Syaikh As-Sa’di berkata : barangsiapa yang beragama kepada Allah dengan selain agama Islam yang telah diridhai Allah bagi hamba-hamba-Nya maka amalnya tertolak dan tidak diterima …(Maktabah Syamilah)

Dari keempat buah ayat di atas beserta tafsirannya, maka semakin jelaslah bagi kita bahwa jalan yang akan menyelamatkan umat manusia adalah berpegang teguh agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan agama-agama yang lain selain Islam. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata : Pengertian Islam dalam makna yang luas adalah beribadah kepada Allah dengan syari’at-Nya sejak masa Allah mengutus para Rasul hingga tegaknya hari kiamat. Pengertian Islam inilah yang dimaksud oleh Allah dalam banyak ayat yang menunjukkan bahwa syari’at-syari’at terdahulu semuanya juga disebut berislam kepada Allah ‘azza wa jalla, seperti firman Allah yang menceritakan tentang Ibrahim,“Wahai Rabb kami jadikanlah kami berdua orang yang muslim kepada-Mu dan juga anak keturunan Kami sebagai umat yang muslim kepada-Mu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 128)

Beliau melanjutkan: Adapun Islam dalam pengertian yang sempit semenjak pengutusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hanya mencakup agama yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu disebabkan agama yang beliau ajarkan menjadi penghapus seluruh agama terdahulu. Sehingga siapa saja (orang sesudah beliau) yang mengikuti beliau menjadi muslim dan siapa saja yang menentang beliau maka dia bukanlah muslim. Maka para pengikut rasul terdahulu adalah orang muslim di masa rasul mereka. Orang Yahudi adalah kaum muslimin di masa Musa ‘alaihis salam. Begitu pula orang Nasrani adalah kaum muslimin di masa Isa ‘alaihis salam. Adapun ketika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus kemudian mereka mengingkari risalah beliau maka mereka bukan lagi kaum muslimin. Agama Islam dalam pengertian inilah agama yang sekarang diterima di sisi Allah dan akan bermanfaat bagi pemeluknya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali-‘Imraan [3] : 19) Dan Allah juga berfirman,“Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia akan termasuk golongan yang menderita kerugian.” (QS. Ali-‘Imraan [3] : 85) Seperti inilah keislaman yang dianugerahkan Allah kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta umatnya. Allah ta’ala berfirman,“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagimu agamamu dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atasmu. Dan Aku pun ridha Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maa’idah [5]  : 3) (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 20-21)

Terakhir, seandainya istilah Islam bukanlah nama untuk sebuah agama formal namun sikap pasrah apapun agama formal yang dianut lalu apa makna dan terjemah hadits berikut ini,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ » .

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Islam dibangun atas lima perkara: (1) syahahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, (2) menegakkan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) naik haji, dan (5) berpuasa di bulan Ramadhan.”  (HR Bukhari no. 8 dan Muslim no. 122)

Lalu adakah ajaran syahadat, shalat dst  sebagaimana dalam hadits di atas di agama-agama formal selain Islam?! (ed).

Kerancuan Kedua

Dia mengatakan pula Isa itu bukanlah nama, namun Isa adalah gelar sehingga Isa disebut ‘At Tauhid’ (satu-satunya) sehingga yang dituliskan oleh Al Qur’an adalah Al Masih Isa ‘alaihis salam. Dia mengatakan selanjutnya,”Al Masih adalah orang yang diurapi (diusap, pen) Tuhan, Isa adalah Esa, sedangkan ‘alaihis salam adalah pemberi/penjamin keselamatan (atau disebut Nabi pembawa Syafa’at). Sehingga kalau Al Masih Isa ‘alaihis salam diringkas jadi satu menjadi ‘Dialah orang yang diurapi (diusap, pen) Tuhan dan satu-satunya penjamin keselamatan (bukan salah satu penjamin keselamatan)’.”

Bantahan :

Setelah kami memeriksa di dalam Al Qur’an, ternyata tidak terdapat ayat yang menyebut Isa dengan Al Masih Isa ‘alaihis salam. Yang ada hanya menyebutnya dengan Al Masih Isa bin Maryam. Seperti terdapat pada tiga ayat yaitu Ali Imran : 45, An Nisa : 157, An Nisa : 171. Namun yang kami permasalahkan bukanlah penyebutan Isa dengan sebutan lengkap Al Masih Isa ‘alaihis salam. Yang kami permasalahkan pertama kali adalah penafsiran Isa dengan At Tauhid yang artinya satu-satunya.

Setelah kami periksa di kamus Bahasa Arab yaitu Al Qomus Al Muhith dan Al Mu’jamul Wasith, ternyata kata Isa tidak memiliki asal kata atau tidak digunakan kecuali sebagai nama. Karena dalam bahasa Arab, ada nama yang penggunaannya sebagai nama saja disebut dengan Al ‘Alam Al Murtajal seperti Sa’ad, Yusuf, Zainab, Mu’awiyah. Dan juga ada nama yang digunakan untuk selain nama disebut dengan Al ‘Alam Al Manqul seperti Mahmud (yang artinya dipuji), Karim (yang artinya mulia), Syarif (yang artinya mulia), Anwar (yang artinya cahaya). Dan nama Isa berarti termasuk Al ‘Alam Al Murtajal dan tidak digunakan atau tidak berasal dari kata lainnya.

Lalu apakah betul Isa berarti At Tauhid (satu-satunya)? Kami tidak tahu ‘Si Habib’ ini mendapatkan makna demikian dari mana. Atau mungkin dia ambil makna tersebut dari kata Esa dari bahasa Sansekerta yang artinya satu. Kalau betul dia mengambil dari kata Esa (yang mirip dengan Isa, namun sangat jauh maknanya), maka sungguh dia telah melakukan kesalahan yang fatal. Bagaimana mungkin bahasa Arab diartikan dengan bahasa Sansekerta?!

Kemudian permasalahan kedua adalah kalimat ‘alaihis salam yang diartikan pemberi/penjamin keselamatan (atau disebut Nabi pembawa Syafa’at). Kalau kami menilai, beliau tidak melalui jalan ilmiah dalam menafsirkan hal ini karena beliau tidak pernah menyebutkan sumber atau rujukan dari perkataannya.

Dalam kitab Ad Dalail wal Isyarot ‘ala Kasyfi Syubuhat, hal. 17 dikatakan bahwa kalimat ‘alaihis salam merupakan kalimat do’a yang digunakan untuk rasul wahyu dan rasul manusia. Rasul wahyu adalah Jibril ‘alaihis salam. Sedangkan rasul manusia adalah para rasul yaitu Nuh, Musa, Isa, dan lain-lain. Para ulama menyendirikan istilah ‘alaihis salam ini untuk rasul wahyu dan rasul manusia dan berbeda dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dipuji dengan shalawat dan salam (dengan digandengkan) [karena inilah yang Allah perintahkan dalam QS. Al Ahzab. Oleh karena itu orang yang hanya ber-shalawat atau hanya mendoakan keselamatan dinilai tidak melaksanakan perintah Allah dalam ayat tersebut, ed]. Sedangkan untuk Jibril dan Nabi lainnya hanya dipuji dengan As Salam saja. Inilah istilah umum yang telah dijalankan oleh para ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa.

Lalu apa yang dimaksud dengan As Salam? Apakah pemberi keselamatan sebagaimana dikatakan oleh dia?

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin –semoga Allah merahmati beliau- dalam Syarhul Mumthi’ I/12 mengatakan,”As Salam adalah selamat dari berbagai kekurangan dan bencana.” Dalam Kamus Al Munawwir hal. 654, kata As Salam berasal dari kata kerja salima yang berarti selamat. Kata as salam sendiri termasuk mashdar yaitu kata kerja yang dibendakan sehingga as salam berarti keselamatan. Jadi secara bahasa ‘alaihis salam berarti ‘semoga keselamatan tercurah kepadanya’. Inilah pengertian yang tepat dan sangat jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Si Habib ini, atau mungkin dia kurang memahami bahasa Arab.

Lalu apa makna shalawat? Syaikh Al Utsaimin dalam kitab yang sama mengatakan,”Sebagian ulama mengatakan bahwa makna shalawat dari Allah adalah rahmat, dari malaikat adalah ampunan (istighfar), sedangkan dari manusia adalah do’a. Namun yang tepat (benar) sebagaimana yang dikatakan Abul ‘Aliyah,’Shalawat dari Allah dari pujian-Nya kepada orang dishalawati di sisi para malaikat yang didekatkan. Dan ini meliputi lebih rahmat yang muthlaq.’ Oleh karena itu, makna shalawat kepada Nabi Muhammad adalah Allah memuji beliau di sisi para malaikat yang didekatkan.”

Apabila shalawat digabungkan dengan salam (shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka salam berarti menghilangkan dari beliau berbagai kekurangan dan shalawat berarti menetapkan bagi beliau kesempurnaan.

Dalam perkataan beliau selanjutnya, dia mengatakan bahwa Yesus adalah pemberi keselamatan yang berarti pemberi syafa’at sedangkan Nabi Muhammad adalah peminta syafa’at. Lalu beliau ajukan pertanyaan : Manakah yang dipilih, pemberi syafa’at (Yesus) atau orang yang hanya meminta syafa’at? Sungguh sangat keterlaluan. Sudah salah mengartikan, malah menyuruh orang awam yang kurang memahami bahasa Arab untuk menentukan pilihan : memilih Yesus sebagai pemberi syafa’at atau Muhammad sebagai peminta syafa’at. Semoga Allah melindungi kita dari tipu daya musuh-musuh Islam.

-bersambung insya Allah-

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal dan Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel https://rumaysho.com

Ditulis pada bulan Syawwal 1428 H



[1] Sebut mereka dengan nama yang Allah berikan untuk mereka dalam al Qur’an, (ed). Janganlah menyebut mereka dengan Kristiani.


Artikel asli: https://rumaysho.com/854-menjawab-kerancuan-vcd-pelecehan-islam-seri-1.html